Minggu, 23 November 2014

Jarak itu tidak membunuh rasa tapi memupuk rindu (?)

Minggu minggu pertama di Makassar seperti menguras banyak sekali energi. Selain pekerjaan yg kesemuanya baru, saya harus bisa secepat kilat beradaptasi dengan lingkungan kerja ini. Bisa dibilang saya termasuk orang introvet, susah beradaptasi dengan orang-orang baru. Keseringan tenggelam dengan kesibukan sendiri, tidak jarang banyak yg menganggap saya sombong, tapi mungkin itu harus menjadi bahan review saya untuk memperbaiki diri.

Berada diposisi midle di kantor membuat saya selalu serba salah, apalagi memiliki 4 staff yang semuanya lebih tua. Entah kecamuk apa yang ada, yang pasti saat itu saya hanya ingin mereka semuanya nyaman disupervisi oleh saya. Tapi ternyata tidak gampang untuk menjadi seorang atasan yang lebih muda, saya harus punya persuasif yang tinggi agar mereka termotivasi, dan itu yang saya tidak punya. Mau tidak mau saya harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, menjadi terdepan untuk menjelaskan sesuatu yg kontroversi atau sekedar jadi kambing hitam untuk gesekan-gesekan memorandum. Hari-hari yg sungguh menyulitkan. Entah berapa kali saya harus masuk ke kamar mandi untuk menghabiskan tissu, masuk ke ruang kliring dan menguncinya lalu terisak lama, berpura-pura mencari dokumen untuk menyembunyikan hidung yg memerah atau ke ruang ATK menghela nafas-nafas panjang.

Saya benar-benar hanyut dalam rutinitas kerjaan kantor dan merasakan diri saya semakin menikmati proses yang ada. Membawa pulang setumpuk memorandum, membacanya hingga terlelap dan terbangun dini hari menyadari waktu makan malam dengan keluarga terlewati. Menikmati semilir angin malam di becak dan hiruk pikuk Makassar di jam malam. Sampai akhirnya saya lupa satu hal, satu hati,HZ yang selalu menentramkan penat jiwa, hati yg selalu menyinggungkan senyum tulus, tertinggal di parepare.

Tidak ada yg lebih indah saat menanti jam makan siang di Pare, saling tunggu saran untuk memilih tempat makan dan ujung-ujungnya makan diMbok2 jawa di gang sempit. Makanan jawa yg sederhana, nasi+sayur+telur dadar+tempe. Kadang suka ngambek kalau iwak peyeknya tidak kering. Ikan teri basah yg dijadiin rempeyek lalu digoreng kering selalu jadi menu andalan. Cukup 14Rb untuk 2 porsi makan siang, menu hemat untuk kami yang jauh dari keluarga. Pulang makan siang kami selalu sengaja lewat pantai, setidaknya mata bisa memandang jauh kedepan meski sangat terik. 
Makan siang saya di Makassar tetap di meja kerja, kadang makan kalau sempat kadang terlupakan. Dan drastis, saya mengikis 4 Kg berat badan dan beberapa kali bermasalah dengan pencernaan.
Waktu terus bergeser, dan kondisi kerjaan sudah bisa terhandle sebagian dan perlahan kesemuanya. Sesekali menengok hati diujung Parepare, atau dijengukin untuk menikmati me time. Ingin sekali kukabari pada yang gagal LDR bahwa jarak itu tidak membunuh rasa tapi memupuk rindu.

Mei 2013,semuanya berbalik. Kabar yg harus kuterima, HZ harus berangkat lebih ke ujung timur untuk promosi. Entah harus kuucapkan selamat atau saya harus berduka dengan kabar ini. Jarak Makassar - Plampang sangat jauh. Apa jarak masih memupuk rindu? Atau meninggalkan duka? Satu pelukan terakhir berusaha meyakinkan bahwa jarak akan terus berpihak untuk kita. "Kembalilah ke taksi dan jangan berbalik lagi". Saya mengerti kenapa saya tidak boleh berbalik, ada duka diujung sana, mungkin membuncah dikelopak mata. Saya berbalik, menutup mata pelan berharap semuanya hanya mimpi, dan lambaian terakhir. Saya tidak mimpi, diujung jalan dan perlahan menjauh, sosok yg selalu menenangkan, tempat berbagi penat, tempat berbagi manja semakin jauh dan menghilang. Rasanya ada banyak penyesalan di dalam hati. Kenapa tidak tiap minggu kita saling tengok saat Mks-Parepare hanya menghabiskan waktu 3jam. Sekarang Mks-Plampang, entah bagaimana keadaan belahan bumi itu. Terpisah pulau dan jarak.